PENYELESAIAN TINDAK PIDANA DESERSI SECARA IN ABSENTIA YANG DILAKUKAN OLEH PRAJURIT TNI DIWILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER I-04 PALEMBANG (STUDY KASUS NOMOR 125-K/PM I-04/AD/VII/2018)

Syawaluddinsyah Syawaluddinsyah, Romli S A, Ruben Achmad

Abstract


ABSTRAK

Penyelesaian tindak pidana desersi harus dilakukan secara cepat agar proses administrasi terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana dapat segera diselesaikan. Tindak pidana desersi berpengaruh buruk terhadap kesatuan pelaku karena dalam organisasi Militer tugas akan terbagi habis, sehingga bila ada salah satu prajurit yang melarikan diri maka akan mengganggu pelaksanaan tugas kesatuannya.  Oleh karena itu sesuai disebutkan bahwa hukum Militer ditujukan untuk menunjang pertahanan nasional. Pengaturan mengenai desersi ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), dalam Bab IV KUHPM, khusus membahas dan mengatur tentang kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seseorang Militer menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinasnya. Dalam kehidupan Militer, tindakan ketidakhadiran pada suatu tempat untuk menjalankan dinas, ditentukan sebagai suatu kejahatan, yang disebut sebagai desersi. Tata cara penyelesaian perkara tindak pidana desersi berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.  Dalam penyelesaiannya disebutkan bahwa terhadap tindak pidana desersi yang Terdakwanya tidak hadir maka dapat diputus secara in absentia setelah 6 (enam) bulan dilimpahkan ke pengadilan.Hal ini diatur dalam Pasal 143 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer beserta penjelasannya.Penyelesaian persidangan desersi secara in absentia yang penyelesaiannya memakan waktu lama bertentangan dengan asas hukum yang mengharuskan agar penanganan perkara dilakukan secara cepat, murah dan sederhana.  Bila dihitung sejak mulai dari dimulainya tindak pidana sampai dengan putusan dijatuhkan akan memakan waktu yang sangat lama, mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 2 Tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014 mewajibkan untuk penyelesai perkara pidana di pengadilan tingkat pertama paling lama 5 (lima) bulan.  Untuk itu banyak Hakim Militer yang menerobos aturan dalam hukum acara Peradilan Militer yang mewajibkan perkara desersi in absentia di putus setelah 6 (enam) bulan sejak dilimpahkan ke Pengadilan Militer.Mengingat hukum acara bersifat imperative dan limitative maka secara formal hal ini tentu bertentangan dengan hukum yang berlaku, tetapi dengan mengingat asas peradilan dan juga mendukung tugas pokok pertahanan sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang maka aturan tersebut diterobos demi percepatan penyelesaian perkara.Hal ini menjadi kendala Hakim dalam memutus perkara desersi secara in absentia.   Aturan dalam pasal 143 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mewajibakan waktu 6 (enam) bulan setelah berkas perkara dilimpahkan sudah tidak efektif lagi sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum agar selaras dengan aturan yang lain dan dapat menjawab permasalahan yang selama ini dirasakan oleh kesatuan sebagai pihak yang mengurus admisistrasi prajuritnya.

 

Kata kunci : Penyelesaian Tindak Pidana desersi secara in absentia, Diputus tidak sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997, Terobosan hakim.

 

ABSTRACT

Settlement of criminal acts must be carried out quickly so that the administrative process for soldiers who commit criminal acts can be resolved immediately. The criminal act of desersion has a bad effect on the perpetrator's unit because in the military organization the task will be completely divided, so that if one of the soldiers runs away it will interfere with the implementation of the unit's duties. Therefore, it is appropriate to state that military law is intended to support national defense. Regulations regarding this dissertation are regulated in the Military Criminal Code (KUHPM), in Chapter IV of the KUHPM, specifically discussing and regulating crimes which are a way for a military person to withdraw from the implementation of his service obligations. In military life, the act of being absent from a place to carry out service, determined as a crime, is known as desertion. The procedure for resolving criminal cases is guided by Law Number 31 of 1997 concerning Military Courts. In the settlement, it was stated that the criminal act of desersion in which the defendant was not present could be decided in absentia after 6 (six) months of being delegated to court. This is regulated in Article 143 of the Military Criminal Code and its explanations. The settlement of the trial is in absenteeism which takes a long time to settle against the principle of law which requires that case handling be carried out quickly, cheaply and simply. If it is calculated from the commencement of a criminal act until the verdict is passed, it will take a very long time, considering that the Circular of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number: 2 of 2014 dated 13 March 2014 requires settlement of criminal cases in the court of first instance for a maximum of 5 (five) months . For this reason, many military judges have broken through the rules in the procedural law of the Military Court which obliged cases to be disregarded in absentia after 6 (six) months being transferred to the Military Court. Considering that procedural law is imperative and limitative, formally this is certainly against the applicable law, but by considering the principles of justice and also supporting the main duties of defense as mandated in law, these rules are breached for the sake of accelerating case resolution. This becomes an obstacle for judges in deciding cases in absentia. The rules in article 143 of Law Number 31 concerning Military Courts which require 6 (six) months after the case files are submitted are no longer effective so it is necessary to reform the law so that it is in line with other regulations and can answer problems that have been felt by the unit as a who takes care of the administration of his soldiers.

 

Key words: The settlement of the criminal act of desertion In Absentia was Decided not according to the time period specified in law Number 31 of 1997, the judge’s Breakthrough

Full Text:

PDF

References


Daftar pustaka

Buku

Hamzah, Andi. Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Pusdiklat Kejaksaan RI. Jakarta, 1991.

Ali,Achmad. Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996.

Hamzah, Andi.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

Mangoli, Arly Y. Eksistensi Peradilan In Absentia dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jurnal Lex Crimen Vol.

Fuad Usfa A. dan Tongat.Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Malang : UMM Pres, 2004.

Arif, Nawawi, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditia bakti, Bandung, 1996.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 2002.

Priyanto, Dwidja.Kebijakan legislativ Tentang sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, Bandung Utama, 2009.

Indonesia, Ensiklopedia. Ichtiar Baru-van Hoeven, Jakarta, 1984.

Marpaung, Ledeng. Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,2009.

Reksodiputro, Marjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,1994.

Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.

Faisal,Salam, Moch. Peradilan Militer Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Faisal Salam Moch. Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandajaya, Bandung, 2006.

Moeljanto.Perubahan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Moeljanto. Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1987.

Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Serikat Putra Jaya, Nyoman. Bahan kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

Syamsuddin, Rahman. Merajut Hukum Di Indonesia.(Mitra Wacana Media, Jakarta), 2014.

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1996.

Mudzakir. Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi Universitas Indionesia, Jakarta, 1999.

Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Pers, Malang,2004.

Sianturi, S. R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni AHM PTHM, Jakarta, 1996.

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2007.

Soegiri, dkk. 30 tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Cet, 1, Indra Djaja. Jakarta, 1976.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Republik Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, LN. No. 84 Tahun 1997 TLN No. 3713, Pasal 143

Indonesia, Undang-undang Republik Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

Undang-undang Nomor 39 tahun 1947 Tentang Menyesuaikan Hukum Pidana Tentara Dengan Keadaan Sekarang.

Peraturan Pemerintah nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ketua, Surat Edaran Nomor : 2 Tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014 tentang penyelesaian perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (empat) lingkungan peradilan.

Putusan Perkara Kejahatan Nomor 125-K/PM I-04/AD/VII/2018.

Website

Perbedaan-Peradilan-dengan-Pengadilan, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/1t548d38322cdf2, diakses tanggal 7 Oktober 2020.

Pengertian-Sistem-Peradilan-Pidana, https://www.scribd.com/doc/120160197/16, diakses tanggal 9 Desember 2020


Refbacks

  • There are currently no refbacks.